MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA

Jumat, 18 Juni 2010

RAMADHANKU

RAMADHANKU
oleh: Sri Adiningsih

Aku bingung, apa yang harus kutulis dalam kertasku yang masih kosong yang ada dihadapanku ini. Sedari tadi aku hanya mampu melihatnya dan tak dapat menggoreskan setitik pena pun, hingga aku tak sanggup lagi memegang pena dan tanpa kusadari kujatuhkan penaku kedasar lantai. Aku ingin sekali bisa menulis seperti dulu tapi apa daya pikiranku sekarang tidak hanya pada satu tema tapi terlalu banyak tema yang ada diotakku ini. Teringat akan semua tema yang ada di otakku. Kembali aku terpuruk di lantai dan secara reflek kujatuhkan air mataku kelantai. Ya, aku sekarang hanya bisa menangis. Karena itu satu-satunya luapan emosi yang bisa kutuangkan. Teringat segala kejadian yang terjadi pada hidupku. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa menangis seperti ini.

Hal yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menghitung tiap daun yang gugur dari pohon disamping kamarku. Aku sering bertanya pada pohon yang kokoh itu “Pohon, apakah aku bisa melihat daun terakhirmu jatuh ketanah” tanyaku dalam sepi. Pohon itu pun hanya membisu tak sepatah kata pun terucap dan hanya bisa melambai-lambai ditiup semilirnya angin. Andaikan aku jadi burung yang bersarang di pohon itu, bisa terbang bebas kesemua penjuru tempat yang dia mau tanpa memikirkan apapun. Tapi, sayangnya ku tidak bisa seperti burung disana bahkan lebih tepatnya aku hanya bisa jadi burung dalam sangkar.

Sepi, ya rumahku memang selalu sepi. Bagaimana tidak sepi? Rumah ini hanya ditempati oleh 2 orang saja. Aku dan salah satu orang tuaku lebih tepatnya ayahku. Ayahku sekarang sedang bekerja,jadi aku hanya sendiri di rumah. Aku kadang iri dengan teman-temanku yang mempunyai keluarga lengkap. Aku sebenarnya punya, tapi mereka tak mau bersama. Mereka memutuskan untuk bercerai dengan alasan yang sangat bodoh menurutku. Mereka tidak memikirkan aku sama sekali, mereka tidak tahu dalam perceraian ini yang paling tersakiti adalah aku. Aku sering kesepian, anak broken home sepertiku sering terombang-ambing. Kadang tinggal dengan ayahku, kadang aku harus mencari-cari bundaku. Yang lebih pahit lagi kejadian itu terjadi pada bulan Ramadhan, kenapa mereka tak memikirkan sedikit pun tentang etika? Kenapa dibulan yang suci ini mereka harus melakukan hal yang bodoh seperti itu? Seharusnya mereka berlomba-lomba menjalankan hal-hal yang disunnahkan oleh Allah bukan perceraian, suatu hal yang dhalalkan tapi sangat dibenci oleh Allah SWT.

Sekarang yang ada disini, Hanyalah seonggok manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa yaitu aku. Bagaimana tidak, aku hanya seonggok tulang yang berselimutkan daging tipis. Ya, mungkin lebih pantas benda yang tak sanggup lagi berbuat apa-apa. Aku tak sanggup apa-apa lagi dan tinggal menunggu dijemput oleh malaikat maut. Ya, sebentar lagi aku akan pergi ke tempat peristirahatan terakhirku. Aku tahu hal itu dari dokter yang memeriksaku beberapa bulan yang lalu, dia berkata aku sedang sakit dan sakitku bukan sakit biasa. Dia bilang aku sakit kanker servik. Dan lebih lucunya lagi hal itu juga terjadi dibulan Ramadhan, seminggu setelah kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Hal ini seperti sudah diatur olehNya. Tapi aku tak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya tinggal menunggu ke tempat terindahku.

Meskipun aku tidak bisa memilih tanggal yang tepat untuk masuk ke tempat terindah itu, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya. Ya aneh, aku memang aneh. Aku telah memberikan Molly, kucing kesayanganku pada anak tetanggaku. Jujur Molly adalah tempat curhatku dari segala kepenatan yang ada. Molly adalah hal terbesarku tapi aku harus sanggup merelakannya kepada orang lain. Aku harus membiasakan Molly dengan orang lain, aku takut jika aku pergi nanti Molly sangat kehilanganku dan aku takut Molly membuntutiku.

Tidak hanya memberikan Molly pada orang lain, aku juga telah membeli kain untuk baju yang akan aku kenakan nanti. Warnanya putih tanpa pernak-pernik sedikitpun. Aku ingin suci seperti kain itu. Tapi, apakah nanti jika aku telah sampai sana, Apakah tempatnya seperti rumah yang kutinggali ini. Sepi tanpa berpenghuni? Semoga saja disana banyak teman yang menemaniku. Ah, aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Aku yakin disana akan banyak teman, tidak seperti disini yang sepi. Aku benci dengan sepi, sendiri.

Sebenarnya Rumah ini dulu tak sesepi ini, dulu aku masih punya kakek yang selalu sayang padaku. Tapi kakekku sekarang sudah tenang disana. Saat itu aku tidak hanya kehilangan satu kakek saja, melainkan kehilangan 2 kakek secara bersamaan, mereka meninggal hanya berselang 3 hari. Mereka meninggal dikarenkaan sakit yang tidak bisa disembuhkan lagi. Dan seperti sudah ada dalam sebuah scenario, kakek-kakekku juga meninggal dibulan Ramadahan. Tiga kejadian berturut-turut dimulai dari orang tuaku yang memutuskan bercerai, kemudian aku yang mendapat vonis kanker ganas dari dokter dan yang terakhir aku harus kehilangan kakek-kakekku yang selalu membimbingku dan menemaniku selama ini.

Waktu itu aku hanya berkeluh-kesah, kenapa Allah memberi cobaan seberat ini 3 kejadian berat beturut-turut dan kesemuanya terjadi dibulan Ramadhan. Kenapa disaat bulan yang penuh berkah ini, aku harus mendapat musibah seperti ini? Allah tidak adil padaku, pikirku waktu itu. Tapi ada dorongan dari hati kecilku. Aku harus kuat. Tak mungkin Allah memberi cobaan padaku melebihi kemampuanku. Dan aku yakin ada hal terindah setelah kejadian ini.

Seminggu lagi Ramadhan tiba, jujur aku merasa takut. Aku takut menghadapi Ramadhan ini karena aku takut ada kejadian yang sulit lagi yang harus aku terima. Namun aku tak sanggup apa-apa, aku harus mengadapinya dengan bahagia apapun yang terjadi nanti.
Kuhapus airmataku yang jatuh. Dan kembali aku naik keatas tempat tidurku. Namun beberapa menit kemudain adzan berkumandang, kuambil air wudhu dan aku mulai memakai mukenaku. Aku senang sekali menggunakan mukena ini. Jujur, aku senang jika aku melihat seorang wanita menggunakan jilbab, jika seorang wanita menggunakan jilbab dia kelihatan anggun dan cantik. Aku ingin seperti itu, tapi keluargaku adalah keluarga yang liberal. Keluargaku tak pernah mengajarkanku mengenai agama.

Setelah sholat aku ingin tetap memakai mukena ini, aku merasa nyaman menggunakannya. Tiba-tiba aku merasa mengantuk, aku ingin berbaring dulu. Kurasakan nyaman sekali tempat tidurku dan badanku terasa hangat menggunakan mukena ini. Kupejamkan mataku, dalam mimpiku aku bertemu dengan dua orang yang asing bagiku, dia mengajakku pergi. Aku tidak mau, tapi tiba-tiba ada kakek-kakekku disana. Aku rindu kakek dan akhirnya aku mau ikut mereka. Aku senang sekarang ada kakek-kakekku disini dan bisa menemaniku. Dan aku bisa bermain dengan kakek-kakekku dengan leluasa tak peduli waktu, tempat. Dan aku senang aku berjilbab disini. Dan akhirnya aku akan bisa melewati Ramadhan terindah nanti disini.

Selasa, 08 Juni 2010

ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat

ssst… jangan berisik,
ada yang sedang seru berdebat

Amira namanya remaja putri berusia dua puluh tahun yang sangat ramah. Mengenakan busana muslimah yang menurutku tidak begitu ekstrim seperti remaja putri binaan di kampusku. Ramah, anggun, santun, tidak pernah membeda-bedakan masalah agama dalam berteman. Banyak teman yang senang bergaul dengannya termasuk juga aku yang bisa begitu cocok pada berbagai pandangan pengetahuan agama. Meskipun Amira dan aku berbeda dari sudut latar belakang yang notabene aku lulusan dari ponpes tradisional dan dia dari ponpes modern namun dalam berbagai hal seperti saling melengkapi satu sama lain.

Meskipun berasal dari latar belakang seorang pesantren namun dia dalam mengamalkan dari apa yang pernah dia pelajari di pesantren tidak pernah terlalu muluk-muluk atau ditonjolkan. Begitu juga dalam mengingatkan temannya yang seagama yang dirasa kurang memenuhi pereaturan agama, dia tidak lantas langsung menegur, namun diberi tahu dengan lembut dan tidak sedikitpun melukai perasaan yang diingatkan tersebut.
“maaf mbak, jilbabnya belum menutupi semua rambutnya mbak!”
Tegur Mira sapaan akrab Amira pada suatu ketika aku melihatnya dibelakang kelas sedang memberi nasehat kepada temannya.

Dia sangat menghormati hak dan pendapat orang lain. Jika teman tersebut memiliki alasan meskipun tidak logis untuk menjawab pertanyaanya, dia tidak lantas langsung menyembur dan menyatakan salah kepada temannya tersebut. Yang selalu menjadi perhatianku dia mau berteman dengan temannya yang beda agama. Sehingga meskipun dia berjilbab, temannya yang berbeda agama tersebut tidak pernah sungkan untuk bergaul, mengobrol, sharing dengannya.
Aku kenal dengannya baru satu setengah tahun belakang ini, saat aku masuk jurusan sastra Inggris sama seperti jurusan yang dia tempuh. Meskipun usianya satu tahun dibawahku namun dia menjadi kakak tengkatku di salah satu perguruan tinggi negeri di jawa tengah namun dia tetap menghormati aku untuk memanggilnya mas, karena dia tahu kalau aku waktu SMA dulu adalah kakak kelasnya. Kadang pula dia memanggilku dengan sebutan “dek” jika sedang becanda dan iseng denganku.



Hal lain yang menjadi perhatianku juga dari teman remaja putri seangkatannya yang menjadi mahasiswa binaan kerohanian islam di kampusku. Mereka memakai baju gamis dengan jilbab yang besar bahkan ada yang memakai cadar seperti adat masyarakat Arab. Namun sayangnya dalam hal amar makruf nahi munkar yang menjadi semangat mereka menegakkan agama islam aku rasa kurang mencerminkan budaya islam yang begitu santun.

Apabila mereka melihat sesuatu yang menurut pemahamannya dianggap munkar, maka tidak segan-segan mereka menegur secara terang-terangan langsung dihadapannya. Ketika melihat teman putri yang biasa mereka panggil atau sebut dengan panggilan ukhti yang kurang rapat jilbabnya sehingga rambutnya terlihat dan yang bercelana ketat mereka pun langsung menegur habis-habisan.
“harusnya tu sebagai akhwat yang muslimah memakai pakaian yang longgar dan jilbabnya juga besar sehingga dapat menutupi bagian atas dari tubuh kita ukhti!!” cerita salah satu temanku yang pernah ditegur oleh mereka.
“ukhti, tahu hukumnya dekat dengan ikhwan yang notabene jelas-jelas bukan muhrim nggak?” tegur salah satu mahasiswi binaan kepada teman seangkatanku pada saat dia memergokinya sedang berduaan dengan teman laki-lakinya.
“itu salah satu jurus ampuh setan untuk menjerumuskan manusia ke dalam jurang perzinaan ukh!” tambah mahasiswi binaan tersebut.



Tak pelak Amira pun pernah menjadi sasaran teguran oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“ukh, kok temannya banyak yang non islam?” suatu ketika saat Amira sedang berpapasan dengannya.
Sontak Amira kaget dengan teguran kakak tingkatnya tersebut,
“lho maaf mbak, memangnya nggak boleh ya orang muslim berteman dengan orang yang non muslim?”
“bukan begitu ukh, kita harus bisa memilih teman yang baik yang sesuai sareat islam. Ukhti pernah mendengar dalil yang menyatakan ketidakbolehan umat muslim untuk bergaul dengan orang yang non muslim kan?” mahasiswi binaan tersebut mencoba mengertikan maksudnya kepada Amira.
Amira pun hanya mengangguk sekedar mengangguk dan mengucapkan terimakasih karena telah diingatkan lantas pergi meninggalkannya untuk menghindari perdebatan yang tiada guna. Seandainya Amira menghendaki untuk berdebat aku rasa dia sangat mampu, namun bukan itu yang diinginkannya.

Pernah suatu pagi aku ditelpon oleh Amira menanyakan tentang alasan mengapa tauhid merupakan pokok dari agama islam, dan meminta dicarikan dalil dari hal tersebut.
“memangnya untuk apa mir?” tanyaku agak pesimis terhadap pertanyaannya, karna aku tahu sepertinya dia juga tahu jawabannya.
Akhirnya setelah kutanyakan alasan mengapa menanyakan hal tersebut dia menceritakan kejadian yang sebenarnya yang sedang dia alami.
“begini mas, tadi saat saya kegiatan mentoring kakak mentor saya membahas masalah tauhid yang merupakan pokok dari agam islam. Lantas aku bertanya alasan mengapa tauhid menjadi pokok dari agama islam, tapi mbak mentornya malah menjawab “kan ada dalilnya tu dalam Al-quran surat al ikhlas ukh”
Bukankah dalil tersebut merupakan sifat dari Allah dan pengukuhan bahwa Allah itu satu ya kan mas?” seolah dia kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh kakak mentornya. Dan aku mencoba menjelaskan alasan dari pertanyaan yang ditujukan kepada kakak mentornya tersebut.
“lalu dalilnya ada nggak mas?” amira menanyakan kefalidtan dari uraianku.
“sebentar aku cari dulu di kitab Qomi’ Thugyan, nanti kalau sudah ketemu biar aku beri tahu ke kamu lewat sms atau langsung.” Aku mencoba menawar waktu untuk memastikan kefalidtan dari pendapatku.
“terimakasih mas, atas bantuannya. Tadi tu mbak mentornya bersikukuh mengatakan bahwa surat al ikhlas itu dalilnya namun saya masih ragu dengan jawabannya tersebut.” Aku merasakan kecemasannya mulai mereda setelah mendengar jawabanku.
Yang lucu darinya seingatku pada saat dia berbincang-bincang dengan beberapa mahasiswi binaan dari satu bidang organisasi kampus.
“afwan ukhti Mira ana tadi kurang paham dengan maksud antum.” Tanya seorang dari mereka kepada Amira.
Amira hanya melototkan mata dan diam agaknya kurang mengerti dari bahasa yang digunakan oleh salah satu mahasiswi binaan tersebut.
“oh afwan, antum bukan mahasiswi binaan ya? Jadi kurang mengerti dengan beberapa kata yang saya ucapkan. Maaf ya?”
Amira hanya tersenyum kemudian dia dengan santai menjawab pertanyaan tersebut menggunakan bahasa arab penuh dan lancar dalam pengucapannya. “fa’fu ‘anni bi hali dzalik, inna jawabiy kadza wa kadza. Fahimta?”
Sontak empat temannya yang sedang berdiskusi tersebut terheran-heran dengan kelancaran bahasa arab yang diucapkan Amira.
Amira pun tertawa mengingat kejadian tersebut ketika menceritakaanya kepadaku.

Sekitar pukul tiga belas selepas sholat dhuhur, aku dan Amira yang kebetulan satu bidang dalam organisasi mahasiswa bahasa inggris yang mengorganisasi tentang keagamaan islam mengikuti acara sarasehan yang diadakan di aula masjid Futuhiyah. Dalam kesempatan tersebut setiap anggota dipersilakan untuk mengeluarkan unek-unek ataupun kritik dan saran untuk bidang satu ini dan kepada kabid sekbidnya.
Aku yang mendapat kesempatan pertama langsung mengeluarkan unek-unek yang selama ini aku rasakan karena sangat jarang mendapat undangan rapat bidang dan berbagai kegiatan acara yang menjadi proker bidang ini. Aku mengulas banyak kekurangan yang aku rasakan.
“maaf mas memang saya ini tidak begitu piawai dan senang dalam organisasi, namun setidaknya juga perlu diperhatikan lah… kan saya juga masih tercatat sebagai anggota bidang ini. Mungkin bukan hanya saya saja namun juga yang lain agar lebih bersemangat dalam berorganisasi.”

Mas Afrizal yang menjadi kabid menanggapi unek-unek dari anggota-anggota yang lainnya juga dan menyatakan kesediaannya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi pada bidang satu.
Giliran sekbid mbak Zahro mengutarakan unek-uneknya, “... ya, paling tidak semua anggota dari bidang satu ini bisa diarahkan dari yang semula berpakaian ketat sekarang menjadi longar dan berjilbab besar. Untuk yang ikhwan diharapkan untuk mengenakan celana yang tingginya berada di atas mata kaki dan kalo bisa lagi nih, di usahakan untuk memelihara jenggot kan dua hal tersebut merupakan anjuran nabi besar Muhammad SAW.”

Amira yang agaknya kurang setuju dengan pendapat tersebut menunggu mbak zahro menyelesaikan pembicaraan dan angkat bicara untuk menanggapinya.
“mohon maaf sebelumnya, bukannya saya menentang dari beberapa anjuran dalam islam tersebut mbak. Namun bukankah islam adalah agama rahmatan lili’alamin? Dan tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. La ikroha fiddiin. Saya rasa semua orang bebas untuk menentukan pilihannya dalam anjuran ini. Jadi kita tidak boleh memaksakan kehendak dengan dalil-dalil yang kita punya untuk menerapkannya. Memang kita harus ber amar ma’ruf dan nahi munkar, namun bukan seperti itu yang di anjurkan oleh nabi kita mbak! Kita harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak boleh sampai menyakiti hati orang tersebut. Misalkan ada putra yang mengenakan celana yang panjangnya hingga mencapai di bawah mata kaki itupun ada pendapat ulama yang memperbolehkannya. Menurut imam Syafii pun hal semacam tersebut bukanlah suatu amalan yang berdosa, karna yang menjadi penyebab sumber dosa dari referensi hadis nabi mengenai hala tersebut adalah bmengenakan dengan niatan sombong. Jadi misalkan ada putra yang mengenakan celana sampai di atas mata kaki dengan niatan sombong itu pun juga termasuk dosa.”

Tak mau kalah dengan Amira yang merupakan adik tingkat dari mbak Zahro, mbak Zahro pun mengeluarkan argumen yang tak kalah kuatnya hingga suasana pun memanas.
Aku hanya terdiam sambil tersenyum melihat suasana tersebut. Sambil mengamati wajah Amira yang begitu tegas dan semakin menambah wibawa kecantikannya di saat sedang berdebat. Aku pun mengatakan kepada teman yang duduk di sebelahku “ssst… jangan berisik, ada yang sedang seru berdebat.”

Karanganyar, 7 Juni 2010

Jumat, 04 Juni 2010

Kang Wawan

Kang Wawan

Kepulangannya kali ini agaknya ada sesuatu yang mengganjal difikirannya. Hal itu terlihat dari raut mukanya yang seperti memikul beban berat dan ingin segera untuk diletakkan atau mungkin dia pulang untuk meminta bantuan seseorang untuk melepaskan beban yang menggantung dan saling bergelantungan di sepasang dua pelupuk matanya. Mengapa dia memilih Blora? Sebuah kota mati yang gaungnya tak pernah terbunyi. Andai saja diperjelas kepada seseorang yang awam untuk menggambarkan atau menjelaskan dimana letak Kota Mati ini, paling-paling jawaban penjelasnya “kamu tahu Cepu ndak? Cepu yang direbutkan oleh EXXON MOBILE dari Amerika itu adalah kecamatan dari kota Blora”.
“Assalamualaikum…” ucap salam Wawan pemuda tanggung yang lari dari kota kelahirannya untuk mencari sebuah mimpi yang tak juga terbeli di kota sebelah. Yang kali ini dia musti balik kampung untuk sekedar liburan atau mungkin ingin melepas kepenatan selama dia mengejar mimpinya itu.
“Waalaikumsalam…” sahut wanita tua dari bilik bagian belakang yang tak lain adalah ibunya.
Drama pun dimulai, tanpa ada aba-aba dari sang sutradara untuk memulai aktingnya Wawan langsung menyambar tangan kanan ibunya untuk dijabat dan diciuminya.
Panas matahari menggeliat di atas ubun seolah meluluhkan tubuh gontai yang semakin lunglai. Perjalanan tiga jam yang penuh dengan hambatan jalan berlubang, dari Grobogan hingga desa Taman sebelah barat Kota Tanpa Tuan. Pembangunan dan perbaikan yang tak pernah maksimal. Entah apa dan siapa gerangan kiranya tak henti menipu amanat Tuhan.
“es degan le..” perhatian ibu terhadap anak laki-laki satu-satunya yang diharap bisa menjadi orang yang berhasil kelak. Paling tidak harus bisa “mikul dhuwur, mendhem jero.” suatu istilah orang jawa yang sering dinasehatkan kepada putranya.
“nggih buk, matur suwun.”
“gimana kuliahmu? Lancar to? Pesene ibumu iki harus diingat-ingat baik-baik.” pesan seorang ibu yang sering diwanti-wantikan kepada ahmad.
“tidak perlu ikut-ikutan demo, pengajian yang tidak-tidak, apa lagi sekarang banyak mahasiswa-mahasiswa yang jadi korbannya. Kaya berita kemarin di teve, dari kampusmu kan yang tertangkap itu? Pokoknya ibu ndak suka kalau kamu sampai kaya gitu. Kamu juga harus pinter-pinter juga cari teman.”
“nggih buk, saya ndak pernah ikut kaya gituan. Niat saya kuliah ya kuliah, ndak pernah ada niatan yang lain.” Jawab Wawan kalem kepada kekhawatiran ibunya yang dirasa sangat wajar.
“ya sudah kalo begitu, ibu takut kamu jadi berubah, malu sama tetangga. O ya, ini hari kamis, nanti sore jangan lupa ke makam ayahmu lho. Sudah lama kamu tidak membersihkan makamnya.”
“ya bu, minta doanya saja di setiap habis sholat. Biar anakmu ini jadi anak yang berhasil seperti yang ibu harapkan. Insyaallah nanti sore aku ke makam, aku juga sudah kangen e buk.”

Seperti sudah menjadi rutinitas Wawan setiap pulang ke Blora untuk mengunjungi pondok dengan surau kecil yang namanya masih belum menggema di kotanya, meski sudah terkenal di desanya. Entah untuk sekedar melepas rasa kangen dengan teman-teman ngajinya dulu atau ingin curhat dengan Pak Muthohar pemimpin pondok itu.
“eh Fa, kabare Wawan dulu gimana? Kok sudah lama dia ndak pulang, apa sudah lupa kampung halamannya ya?” Tanya Heri salah seorang teman akrab Wawan yang sangat aktif mengikuti simakan kitab di pondok.
“yo ndak gitu Her, tadi malam saja dia masih sms an sama saya kok, puisinya itu lho membuat aku bingung jawabinya. Mungkin saja dia lagi banyak tugas, maklum lah mahasiwa.”
“weh hyo ding, sekarang dia sudah jadi mahasiwa, mahasiwa atau mahasiswa to? lak pinter demo cah.” Banyol Heri menanggapi jawaban Faiz.
“hahaha…” sontak tawa mereka yang ada dalam mushala geli dengan tanggapan Heri.
“eh kayaknya tadi aku lihat mas Wawan dari pesarean deh. Naik mio merahnya itu..” Timpal Mboden adik sepupu Wawan yang dari tadi ingin ikutan ngobrol.
“apa iya? Kok tadi malam ndak ngasih kabar ya?” Jawab Faiz yang seolah tak percaya ucapan Mboden.
“wah… biasanya ada traktiran nih hahaha…” sahut Heri.
“assalamualaikum…” tiba-tiba Wawan muncul dari depan pintu mengagetkan teman-temannya yang dari tadi membicarakannya.
“waalaikumsalam…” serentak mereka menjawab ucapan salam ahmad.
“wah panajang umur kamu kang! Baru saja kita rasani. Eeee … tau-taunya sudah hadir di sini. Marhaban bika ya akhi, mari sini masuk!” sambut hangat Imam teman ngaji Wawan yang bisa dibilang pendiam tapi sangat kritis dalam berbagai hukum islam.
“nyampe sini jam berapa Wan? Tanya Faiz.
“hmm… benar kan, tadi mas Wawan tenan yang kulihat pas berhenti di perempatan bangjo. Dari makam tadi ya mas?” sahut Mboden menguatkan pernyataannya tadi.
“bentar-bentar, ada yang mau menanyakannya lagi ndak sebelum aku ganti ngomong? Kayak orang penting yang diwawancarai wae cah, hmm… ” kelakar Wawan.
“guayamu!!!!” serentak heri dan faiz menampik kelakar Wawan.
“lha gimana lagi to kang? Masak baru datang masuk aja belum sudah di cerca berjuta tanya. Emangnya aku ini anggota dewan senayan apa? Haha…”
“sudah-sudah sini duduk dulu! Gimana kabarmu sehat tho? Kukira sudah lupa sama kita-kita.” Imam mencoba meredakan banyolan yang lain.
“alhamdulillah sehat Mam, ya ndak pernah aku bisa melupakan kalian… sempeyan-sampeyan semua ini kan sahabat terbaik yang pernah kumiliki dan sampai sekarang masih kumiliki!! Sulit lho kang mencari sahabat seperti sampeyan semua ini.” Jawab Wawan memuji seperti orang yang sangat kangen pada sesuatu.
“ah apa benar itu kang? Kalo gitu harusnya traktir mie ayamnya pak Gik noh hahaha…” sahut Heri yang suka membanyol kembali meriuhkan suasana malam yang semakin larut tanpa ditemani purnama yang telah lewat masa.
Malam yang penuh canda dan penuh rasa peresaudaraan yang mungkin hingga suatu masa datang tuk memisahkannya, atau akan tetap abadi seabadi mimpi yang selalu hadir di setiap lelap tidur malam hari di setiap manusia walaupun telah berganti generasi.

“loh Wan kapan tiba di rumah? Kok lama ndak kelihatan” sambut Pak Muthohar menanyakan kabar dari kang Wawan setelah menjawab salam dan mempersilakannya duduk.
Tersenyum Wawan sedikit malu untuk menjawab perhatian Guru ngajinya yang ternyata selama ini juga tertuju padanya.
“tadi siang Pak sekitar jam satu.”
“bagaimana kabarnya Pak? Ibu dan lare-lare sehat semua kan? Jadi kangen saya e Pak, lama ndak merasakan hawa yang seperti ini.”
“Alhamdulillah sehat semua, lha kamu sendiri bagaimana? Ndak pernah ada kabar, lancar kan kuliahmu? Mbok sekali-kali kasih kabar gitu lho! Kan bisa lewat telpon atau sms!”
“hehe… enggih Pak, lha saya sungkan mau sms bagaimana e pak, takut ganggu.”
Pembicaraan pun berlanjut, diselingi menikmati teh hangat dan biscuit Roma yang sengaja disiapkan untuk menghormati tamu. Memang hal itu merupakan kebiasaan Kiyai Muthohar untuk menghormati tamu yang berkunjung ke rumahnya, tak peduli seberapa penting atau tidaknya tamu itu pasti terdapat sajian yang tersedia di meja tamu.
Sesekali Nayla dan Farihah putri kedua dan ketiga pasangan Muthohar dan Rofiah ini bertanya tentang tugas sekolah yang dirasa sulit atau belum dimengerti. Heri yang diajak Wawan menemaninya sowan ke guru ngajinya pun dengan senang mengajari Nayla dan Farihah. Tak hayal mereka berdua cukup dekat dengan Wawan dan santri-santri yang lain karna para santri ini telah dianggap seperti kakak-kakanya sendiri yang selalu siap membantu bahkan kepentingan keluarga Pak Muthohar.
“begini Pak..” Wawan mulai membicarakan permasalahannya yang sebenarnya sejak dari tadi ingin disampaikan
“saya itu di sana sepertinya ndak merasa nyaman kalau urusan ibadah dan urusan agama yang lain e Pak.”
“lha emangnya kenapa Wan” Pak Thohar coba menanggapi.
“lha anu e Pak, cara beribadahnya itu lho saya ndak sreg. Banyak yang ndak memenuhi syarat rukunnya sholat pak, apa memang belum tahu hukumnya ya?”
“ya kamu kalau tahu harusnya memberi tahu noh!” jawab Pak Thohar tenang.
“sudah Pak, tapi ya itu.. malah bawaannya mereka ngajak debat Pak, sudah tak kasih tahu pendapat saya ya tetap saja ndak mau menerima. Sepertinya itu kayak merasa benar sendiri gitu lho Pak.”
“yen seperti itu ya sudah, ndak perlu di gugat lagi.. ndak baik berbantah-bantahan. Memang antara madzhab satu dengan madzhab lainnya itu berbeda, namun perbedaannya itu bukan ditujukan untuk menang sendiri tapi untuk saling melengkapi.”
Sebentar Pak Muthohar menghentikan pembicaraan sembari meminum the hangat cap Dandhang khas kota Blora lalu melanjutkan pembicaraannya.
”begini lho Wan, kita dalam lingkup pesantren ini diajarkan untuk menganut salah satu madzhab dari empat madzhab, ada banyak kok jalan untuk menujuNya. Misalkan mau ke Jakarta, bisa lewat jalur Pantura, jalur selatan, lewat Cengkareng, Cikampek, atau mana saja. Yang penting kan tujuannya satu yaitu Jakarta to? Dan misal lewat berbagai jalan itu pasti sampai kalau lancar ndak macet. Tergantung pilihan orang sukanya pilih lewat jalan yang mana itu hak mereka kita ndak usah menyalahkannya, toh tujuannya sama kan?”
Wawan hanya terdiam dan mengangguk-angguk menandakan kefahamannya. Begitu juga dengan Heri yang dari tadi mengajari Farihah tugas rumah matematika yang belum selesai.
“untuk masalah berbantah-bantahan..” lanjut Pak Muthohar, “ilmu itu bukan untuk berbantah-bantahan, tapi untuk di amalkan. Al ilmu lil ‘amal la lil jiddal begitu dawuh almarhum KH. Ahsan Sholih berpesan kepada saya waktu dulu. Misalkan kamu di ajak debat, biarkan saja lah, ndak ada gunanya itu. Yang terpenting dirimu sendiri mampu melaksanakan dari apa yang telah kamu pelajari di sini dulu itu secara istiqomah sudah baik, sukur-sukur bisa di amalkan dan di ajarkan kepada yang lain, tambah lebih bermanfaat itu.”
“nggih pak, semoga saja saya mampu mengamalkan seperti apa yang telah panjenengan ajarkan dulu dan bisa istiqomah dalam menjalaninya.” Jawab takdim Wawan mencoba meyakinkan guru ngajinya yang telah mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu agama selama lebih dari enam tahun dan tanpa meminta sekeping imbalan apapun.

Heri yang sedari tadi turut mendengarkan pembicaraan guru dan murid mencoba memberi tanda mengedipkan mata kepada wawan akan waktu yang menjadi penghalang. Juga dimaksudkan untuk menyudahi pembicaraan untuk menghormati waktu sang Kiyai yang baru pulang jam setengah Sembilan dari suatu undangan hajatan, hingga rutinitas simakan kitab tafsir munir sehabis sholat isyak terpaksa ditinggalkan.
Malam pun semakin larut, bersahutan musik ala jangkrik, kodok, beluk, dan lolongan kirik. Menambah kuat eksistensi keperkasaan malam yang pekat. Dingin menyeruak hembusan angin bukit membisikkan lirih rahasia-rahasia kehidupan. Entah di suatu ketika terbongkarlah kebiadaban zaman oleh penghuni-penghuninya sendiri. Diterbangkan hayal menyusuri indahnya mimpi, semua merasa yang paling hakiki. Menjadi paling benar sendiri tanpa menghiraukan adanya pemilik kebenaran sejati.



karanganyar, 4 juni 2010

Selasa, 01 Juni 2010

Bidadari itu dibawa Jibril


Sebelum jilbab populer seperti sekarang ini, Hindun sudah selalu memakai busana muslimah itu. Dia memang seorang muslimah taat dari keluarga taat. Meski mulai SD tidak belajar agama di madrasah, ketaatannya terhadap agama, seperti salat pada waktunya, puasa Senin-Kamis, salat Dhuha, dsb, tidak kalah dengan mereka yang dari kecil belajar agama. Apalagi setelah di perguruan tinggi. Ketika di perguruan tinggi dia justru seperti mendapat kesempatan lebih aktif lagi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.


Dalam soal syariat agama, seperti banyak kaum muslimin kota yang sedang semangat-semangatnya berislamria, sikapnya tegas. Misalnya bila dia melihat sesuatu yang menurut pemahamannya mungkar, dia tidak segan-segan menegur terang-terangan. Bila dia melihat kawan perempuannya yang muslimah--dia biasa memanggilnya ukhti--jilbabnya kurang rapat, misalnya, langsung dia akan menyemprotnya dengan lugas.

Dia pernah menegur dosennya yang dilihatnya sedang minum dengan memegang gelas tangan kiri, "Bapak kan muslim, mestinya bapak tahu soal tayammun;" katanya, "Nabi kita menganjurkan agar untuk melakukan sesuatu yang baik, menggunakan tangan kanan!" Dosen yang lain ditegur terang-terangan karena merokok. "Merokok itu salah satu senjata setan untuk menyengsarakan anak Adam di dunia dan akherat. Sebagai dosen, Bapak tidak pantas mencontohkan hal buruk seperti itu." Dia juga pernah menegur terang-terangan dosennya yang memelihara anjing. "Bapak tahu enggak? Bapak kan muslim?! Anjing itu najis dan malaikat tidak mau datang ke rumah orang yang ada anjingnya!"

Di samping ketaatan dan kelugasannya, apabila bicara tentang Islam, Hindun selalu bersemangat. Apalagi bila sudah bicara soal kemungkaran dan kemaksiatan yang merajalela di Tanah Air yang menurutnya banyak dilakukan oleh orang-orang Islam, wah, dia akan berkobar-kobar bagaikan banteng luka. Apalagi bila melihat atau mendengar ada orang Islam melakukan perbuatan yang menurutnya tidak rasional, langsung dia mengecapnya sebagai klenik atau bahkan syirik yang harus diberantas. Dia pernah ikut mengoordinasi berbagai demonstrasi, seperti menuntut ditutupnya tempat-tempat yang disebutnya sebagai tempat-tempat maksiat; demonstrasi menentang sekolah yang melarang muridnya berjilbab; hingga demonstrasi menuntut diberlakukannya syariat Islam secara murni. Mungkin karena itulah, dia dijuluki kawan-kawannya si bidadari tangan besi. Dia tidak marah, tetapi juga tidak kelihatan senang dijuluki begitu. Yang penting menurutnya, orang Islam yang baik harus selalu menegakkan amar makruf nahi mungkar di mana pun berada. Harus membenci kaum yang ingkar dan menyeleweng dari rel agama.

Bagi Hindun, amar makruf nahi mungkar bukan saja merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan, tetapi juga bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itu dia biarkan saja kawan-kawannya menjulukinya bidadari tangan besi.Ketika beberapa lama kemudian dia menjadi istri kawanku, Mas Danu, ketaatannya kian bertambah, tetapi kelugasan dan kebiasaannya menegur terang-terangan agak berkurang. Mungkin ini disebabkan karena Mas Danu orangnya juga taat, namun sabar dan lemah lembut. Mungkin dia sering melihat bagaimana Mas Danu, dengan kesabaran dan kelembutannya, justru lebih sering berhasil dalam melakukan amar makruf nahi mungkar. Banyak kawan mereka yang tadinya mursal, justru menjadi insaf dan baik oleh suaminya yang lembut itu. Bukan oleh dia.*

Sudah lama aku tidak mendengar kabar mereka, kabar Mas Danu dan Hindun. Dulu sering aku menerima telepon mereka. Sekadar silaturahmi. Saling bertanya kabar. Tetapi, kemudian sudah lama mereka tidak menelepon. Aku sendiri pernah juga beberapa kali menelepon ke rumah mereka, tapi selalu kalau tidak terdengar nada sibuk, ya, tidak ada yang mengangkat. Karena itu, ketika Mas Danu tiba-tiba menelepon, aku seperti mendapat kejutan yang menggembirakan.

Lama sekali kami berbincang-bincang di telepon, melepas kerinduan.Setelah saling tanya kabar masing-masing, Mas Danu bilang, "Mas, Sampeyan sudah dengar belum? Hindun sekarang punya syeikh baru lo?

"Syeikh baru?" tanyaku. Mas Danu memang suka berkelakar."Ya, syeikh baru. Tahu, siapa? Sampeyan pasti enggak percaya.

"Siapa, mas?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Jibril, mas. Malaikat Jibril!""Jibril?" aku tak bisa menahan tertawaku.

Kadang-kadang sahabatku ini memang sulit dibedakan apakah sedang bercanda atau tidak."Jangan ketawa! Ini serius!

"Wah. Katanya, bagaimana rupanya?" aku masih kurang percaya."Dia tidak cerita rupanya, tetapi katanya, Jibril itu humoris seperti Sampeyan.

"Saya ngakak. Tetapi, di seberang sana, Mas Danu kelihatannya benar-benar serius, jadi kutahan-tahan juga tawaku. "Bagaimana ceritanya, mas?

"Ya, mula-mula dia ikut grup pengajian. Kan di tempat kami sekarang lagi musim grup-grup pengajian. Ada pengajian eksekutif; pengajian seniman; pengajian pensiunan; dan entah apa lagi. Nah, lama-lama gurunya itu didatangi malaikat Jibril dan sekarang malaikat Jibril itulah yang langsung mengajarkan ajaran-ajaran dari langit. Sedangkan gurunya itu hanya dipinjam mulutnya.

"Bagaimana mereka tahu bahwa yang datang itu malaikat Jibril?""Lo, malaikat Jibrilnya sendiri yang mengatakan. Kepada jemaahnya, gurunya itu, maksud saya malaikat Jibril itu, menunjukkan bukti berupa fenomena-fenomena alam yang ajaib yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia.

"Ya, tetapi jin dan setan kan bisa melakukan hal seperti itu, mas!" selaku, "Kan ada cerita, dahulu Syeikh Abdul Qadir Jailani, sufi yang termasyhur itu, pernah digoda iblis yang menyamar sebagai Tuhan berbentuk cahaya yang terang benderang. Konon, sebelumnya, Iblis sudah berhasil menjerumuskan 40 sufi dengan cara itu. Tetapi, karena keimanannya yang tebal, Syeikh Abdul Qadir bisa mengenalinya dan segera mengusirnya.

"Tak tahulah, mas. Yang jelas jemaahnya banyak orang pintarnya lo."Wah."Ketika percakapan akhirnya disudahi dengan janji dari Mas Danu dia akan terus menelepon bila sempat, aku masih tertegun.

Aku membayangkan sang bidadari bertangan besi yang begitu tegar ingin memurnikan agama itu kini "hanya" menjadi pengikut sebuah aliran yang menurut banyak orang tidak rasional dan bahkan berbau klenik. Allah Mahakuasa! Dialah yang kuasa menggerakkan hati dan pikiran orang.

Beberapa minggu kemudian aku mendapat telepon lagi dari sahabatku Mas Danu. Kali ini, dia bercerita tentang istrinya dengan nada seperti khawatir.

"Wah, mas; Hindun baru saja membakar diri. "Apa, mas?" aku terkejut setengah mati, "membakar diri bagaimana?

"Gurunya yang mengaku titisan Jibril itu mengajak jemaahnya untuk membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran dosa. Mereka menyiram diri mereka dengan spritus kemudian membakarnya.

"Hei," aku ternganga. Dalam hati aku khawatir juga, soalnya aku pernah mendengar di luar negeri pernah terjadi jemaah yang diajak guru mereka bunuh diri.

"Yang lucu, mas," suara Mas Danu terdengar lagi melanjutkan, "gurunya itu yang paling banyak terbakar bagian-bagian tubuhnya. Berarti kan dia yang paling banyak dosanya ya, mas?!

"Aku mengangguk, lupa bahwa kami sedang bicara via telepon."Doakan sajalah mas!" kata sahabatku di seberang menutup pembicaraan.

Beberapa hari kemudian Mas Danu menelepon lagi, menceritakan bahwa istrinya kini jarang pulang. Katanya ada tugas dari Syeikh Jibril yang mengharuskan jemaahnya berkumpul di suatu tempat. Tugas berat, tetapi suci. Memperbaiki dunia yang sudah rusak ini.

"Pernah pulang sebentar, mas" kata Mas Danu di telepon, "dan Sampeyan tahu apa yang dibawanya? Dia pulang sambil memeluk anjing. Entah dapat dari mana?"***Setelah itu, Mas Danu tidak pernah menelepon lagi. Aku mencoba menghubunginya juga tidak pernah berhasil. Baru hari ini. Tak ada hujan tak ada angin, aku menerima pesan di HP-ku, SMS, isinya singkat: "Mas, Hindun sekarang sudah keluar dari Islam. Dia sudah tak berjilbab, tak salat, tak puasa. (Danu).

"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Danu saat menulis SMS itu. Aku sendiri yang menerima pesan itu, tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Hanya dari mulutku meluncur saja ucapan masya Allah.

oleh A. Mustofa Bisri
***Rembang, Akhir Ramadan 1423

Pernah dimuat di media Indonesia, 3 September 2003

Senin, 31 Mei 2010

Jakarta, Febuari 2007



cerpen
Jakarta, Febuari 2007





Seperti biasa dikebanyakan sore menjelang magrib, kusempatkan diriku duduk di emperan rumah bagian atas. Sendiri menjauh dari riuhnya percakapan ibu- ibu perumahan. Membisu seolah mematungkan diri tak menghirau teman yang mondar-mandir kesana-kemari. Menikmati pemandangan tumpukan rumah- rumah yang masing- masing saling berlomba untuk meninggikan bangunannya atau mungkin memang sengaja ditinggikan mengingat sempitnya lahan perumahan kota.

Sejauh mataku berkeliaran tak tampak juga gambar pandangan yang mirip atau setidaknya hampir mirip seperti yang biasa kunikmati pandang di desa tempat tinggalku dulu. Hamparan hijau padi yang mulai mengeluar kan uli-nya semakin menambah rasa sukur petani yang sebentar lagi akan ter lihat nyata hasil sawahnya, semilir angin lembah menggoyangkan rerumputan seolah menari k perhatian dan menghidangkan diri bagi sapi, kambing tuk memakannya, jerit tawa canda berlarian permainan anak-anak kecil desa membuktikan sesungguhnya keberadaannya.

Sungguh kuasa Tuhan yang dengan keindahan-Nya menciptakan sesuatu yang indah pula. Terpaku bola mataku oleh bias cahaya kuning kemerahan matahari senja bersembunyi di balik gumpalan awan, terselepit-selepit di celah-celah tingginya bangunan ciptaan manusia. Bergamit lirih mulutku memuji terperanga dengan apa yang baru saja aku amati. Sebuah karya seni yang mungkin takkan pernah bisa aku temukan di desa dulu. Jika jemari ku ini mampu merekam mengabadikan suatu gambar dalam sebuah bentuk lukisan yang tergores pada selembar putih kanvas, maka takkan kusia-siakan momen ini tuk menuangkan sedetail dan semirip mungkin agar suatu saat dapat kunikmati atau paling tidak dapat kuingat kembali dengan yang kulihat sekarang ini.

Perpaduan kontras warna, gelap ter ang atau apalah yang sering menjadi acuan para pelukis untuk menentukan kesesuaian lukisannya, menyatu apik dengan ketidakteraturan tata bangun perumahan. Hingga terbayang sebuah lukisan yang menjadi master piece seni lukis Indonesia kar ya Affandi atau Raden Saleh. Namun jika dibandingkan pastilah kedua pelukis tersebut mengakui keelokan ciptaan yang Maha Indah ini.




Kembali kududuk menyendiri seperti dikebanyakan sore dilain hari, berfikir sejenak tuk introspeksi diri dengan apa yang tlah kujalani dalam satu hari ini. Ah, sia- sia saja. Seolah tak ada guna menyesali dalam gumam pikir mengintrospeksi. Besok hari pasti kan terulang lagi, misal ada perubahan itupun sangat minim, atau bahkan kadang malah membuat kekeliruan yang lebih par ah lagi. Kebiasaan buruk anak adam dalam menjalani hari- harinya. Hari kemarin tak ubahnya sesuatu yang sudah berlalu dan tak ada gunanya tuk terus diingat, hari ini adalah hariku terserah apa mauku tak peduli dengan sesuatu yang menunggu dilain waktu, karna hari esok masihlah tabu yang belum tuntu juga mampu kutemu. Idealisme anak baru lulus sekolah berseragam putih abu-abu. Mencari jati diri tak pedulikan realitas yang sebenarnya terjadi.

Kubiarkan berkeliaran mata ini hingga jauh ke sudut-sudut batas pandang mata melihat. Melepaskan beban usia dini yang dihadapkan dengan kerasnya perjuangan menjadi budak orang asing di neger i sendiri. Mengaburkan mimpi, mengganggu di setiap tidur malam hari. Tak ada terselip seberkas sinar yang kuharap mampu menerangi kelamnya hati. Hanya arak-arakan tebal hitam awan menjadi tabir tebal antara bumi dan langi t. Hujan renyai yang turun deras sejak pagi tadi mengubah 180ยบ hawa panas Jakarta, seakan mewakili gundah yang sedang meliputi dan mengabarkannya pada yang lain.

Ah, kau terlalu cengeng langit. Seperti anak kecil ditinggal ibunya saja, kau meraung-raung dalam tangis, menumpahkan semua air matamu. Tenanglah sebentar, ceritakanlah semua padaku, sandarkan beban ke bahuku meski bebanku sendiri belum juga ber kurang. Namun melihatmu seperti itu hatiku merasa iba dan bersedia tuk mendengarkan keluh kesahmu. Bisikkan lirih ke telingaku bila kau ragu dan tak perlu malu. Anggaplah aku ini sahabat terbaikmu.

Memang benar, dengan alasan ilmu pengetahuan tak henti-hentinya mereka perkosa dirimu, dengan tujuan kemanusiaan mereka terus kuras habis isi perutmu. Namun harus bagaimana lagi? Tuhanmu sendiri yang telah menjadikan mereka untuk memimpinmu, tak mudah tuk membuat mereka sadar. Sekedar ingat pun sukar. Layaknya pemimpin lainnya yang selalu menyalahkan bawahan, kaupun merasakan hal yang sama, selalu dicaci ketika tak mampu kau penuhi mintanya, dan tak pernah berucap terima kasih saat mereka dapatkan semuanya. Tak ada gunanya kau marah, toh mereka hanya menyesal sebentar dan sesaat pastikan mengulangi lagi.

Kalau boleh ku memberimu saran, turuti saja apa kem auan pemimpi nmu. Mereka sebenarnya sudah tahu apa konsekuensi dari yang mereka lakukan padamu. Dalam kenyataannya mereka pun mampu tuk mengatasi mu. Mereka hanyalah wakil dari Pemimpin sesungguhnya. Biarlah Sang Maha Pemimpin membuktikan kebijaksanaannya kepada wakil-wakilnya yang ditugasi tuk merawat dan memanfaatkanmu.





“Dris, turun! Bantuin nguras kontrakanku cepetan!!” tersadar pikir dari lamunan terbelalak mataku mengarah persis ke jalan depan kontrakanku. Air menggengang setinggi bahu orang dewasa, akibat dari hujan seharian ditambah kiriman ai r dar i kota sebelah yang relatif tinggi tempatnya. Hmm.. kalimat apa yang harus kuucap untuk keadaan ini, bersyukur atau mendesah? Tapi ada suatu manfaat yang mengganjal dari kondisi ini: “besok hari bisa dipastikan libur kerja hehe…”

Minggu, 30 Mei 2010

Sastra Indonesia


Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.

Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.(wikipedia)

untuk meningkatkan minat pemuda dalam menggunakan dan turut melestarikan bahasa Indonesia perlu kiranya dimulai sejak sedini mungkin dan diimplementasikan di sekolah-sekolah dari tingkat SD hingga tingkat perguruan tinggi.

Di sini saya mencoba untuk memberikan sebuah sajian karya sastra Indonesia baik dari yang senior hingga yang amatir seperti saya ini. kiranya dengan posting seperti yang sedang anda baca saat ini dapat meningkatkan minat anda dalam berkarya.

Sebuah cerita menarik yang saya alami sendiri di lingkungan kuliah saya yang notabene bukan berlatar dari pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. karna saya sendiri sekarang sedang menempuh program S1 pendidikan matematika di sebuah Universitas di Jawa. Dalam kaitannya dengan sastra entah mengapa saya begitu tertarik sejak sekitar 5 tahun yang lalu meskipun belum ada keinginan untuk mengguratkan kata-kata. hal tersebuit dimungkinkan karna kekurang tertarikan saya untuk menulis sebuah paragraf. namun minat ssaya dalam membaca sudah saya gemari sjak saya duduk di bangku sekolah dasar, meskipun sasat itu hanya suka membaca cerita bergambar atau komik. Sekitar 2 tahun belakangan ini minat saya dalam mengapresiasikan perasaan atau kata hati mulai tertuang dalam bentuk tulisan. dimulai dengan menulis sebuah puisi, kegiatan ini terinspirasi ketika saya membaca buku-buku puisi seperti karya Kahlil Gibran, da sebuah buku berjudul La Tahzan yang di dalam buku tersebut berisi sebuah motivasi-motivasi dan berbagai puisi penyejuk iman dari Timur Tengah.

Kemmbali dalam keseharian saya, banyak dari teman saya yang merasa heran mengapa saya begitu bisa dikatakan gila dengan karya sastra. Hal tersebut dikemukakan mungkin karna terlihat aneh, ada anak matematika yang suka dengan sastra. Bahkan sering ada yang bilang "salah ambil jurusan kamu dris, seharusnya kamu tu cocoknya ambil jurusan pendidikan bahasas dan sastra Indonesia bukannya malah nyasar di matematika." Pernyataan tersebut cukup saya tanggapi dengan senyum mengambang dan balik mengeluarkan pendapat "hehe... besok aku akan mengajarkan matematika dengan keindahan bahasa indonesia agar menarik perhatian muridku kelak dan mereka dapat dengan mudah menerima pelajaran sehingga paham dengan apa yang aku terangkan."

Untuk menarik minat kepada teman-teman saya di kampus, beberapa hari ini saya mengajak beberapa dari teman saya yang saya nilai gemar dalam hobi tulis-menulis untuk membuat cerpen karangannya sendiri. Ada sekitar sepuluh dari teman-temanku dan mereka menanggapi positif ide saya itu. Meski yang semua dari teman-temanku itu adalah wanita hal tersebut bukanlah suatu masalah buatku (tambah sip hehe..) karna belum ada dari teman laki-laki sekelasku atau se4kampus yang berminat dalam hal tulis menulis, atau mungkin saya kurang mengetahuiakan hobi mereka.
Untuk rencana ke depan saya akan mencoba mengumpulkan beberapa karya sasstra dari teman-teman saya yang berupa cerita pendek. Dan mencoba untuk menawarkan kepada penerbit. Siapa tahu dari ide yang konyol ini bisa menjadi sebuah gebrakan dalam meningkatkan kualitas karya sastra di Indonesia khususnya dikalangan para mathematic holic. AIS

nb. postingan berikuitnya akan coba saya muat beberapa cerpen pribadi saya dan teman-teman saya
silakan menikmati ^_~