MARI BERSAMA GURATKAN KATA UNTUK MENGUBAH DUNIA

Senin, 31 Mei 2010

Jakarta, Febuari 2007



cerpen
Jakarta, Febuari 2007





Seperti biasa dikebanyakan sore menjelang magrib, kusempatkan diriku duduk di emperan rumah bagian atas. Sendiri menjauh dari riuhnya percakapan ibu- ibu perumahan. Membisu seolah mematungkan diri tak menghirau teman yang mondar-mandir kesana-kemari. Menikmati pemandangan tumpukan rumah- rumah yang masing- masing saling berlomba untuk meninggikan bangunannya atau mungkin memang sengaja ditinggikan mengingat sempitnya lahan perumahan kota.

Sejauh mataku berkeliaran tak tampak juga gambar pandangan yang mirip atau setidaknya hampir mirip seperti yang biasa kunikmati pandang di desa tempat tinggalku dulu. Hamparan hijau padi yang mulai mengeluar kan uli-nya semakin menambah rasa sukur petani yang sebentar lagi akan ter lihat nyata hasil sawahnya, semilir angin lembah menggoyangkan rerumputan seolah menari k perhatian dan menghidangkan diri bagi sapi, kambing tuk memakannya, jerit tawa canda berlarian permainan anak-anak kecil desa membuktikan sesungguhnya keberadaannya.

Sungguh kuasa Tuhan yang dengan keindahan-Nya menciptakan sesuatu yang indah pula. Terpaku bola mataku oleh bias cahaya kuning kemerahan matahari senja bersembunyi di balik gumpalan awan, terselepit-selepit di celah-celah tingginya bangunan ciptaan manusia. Bergamit lirih mulutku memuji terperanga dengan apa yang baru saja aku amati. Sebuah karya seni yang mungkin takkan pernah bisa aku temukan di desa dulu. Jika jemari ku ini mampu merekam mengabadikan suatu gambar dalam sebuah bentuk lukisan yang tergores pada selembar putih kanvas, maka takkan kusia-siakan momen ini tuk menuangkan sedetail dan semirip mungkin agar suatu saat dapat kunikmati atau paling tidak dapat kuingat kembali dengan yang kulihat sekarang ini.

Perpaduan kontras warna, gelap ter ang atau apalah yang sering menjadi acuan para pelukis untuk menentukan kesesuaian lukisannya, menyatu apik dengan ketidakteraturan tata bangun perumahan. Hingga terbayang sebuah lukisan yang menjadi master piece seni lukis Indonesia kar ya Affandi atau Raden Saleh. Namun jika dibandingkan pastilah kedua pelukis tersebut mengakui keelokan ciptaan yang Maha Indah ini.




Kembali kududuk menyendiri seperti dikebanyakan sore dilain hari, berfikir sejenak tuk introspeksi diri dengan apa yang tlah kujalani dalam satu hari ini. Ah, sia- sia saja. Seolah tak ada guna menyesali dalam gumam pikir mengintrospeksi. Besok hari pasti kan terulang lagi, misal ada perubahan itupun sangat minim, atau bahkan kadang malah membuat kekeliruan yang lebih par ah lagi. Kebiasaan buruk anak adam dalam menjalani hari- harinya. Hari kemarin tak ubahnya sesuatu yang sudah berlalu dan tak ada gunanya tuk terus diingat, hari ini adalah hariku terserah apa mauku tak peduli dengan sesuatu yang menunggu dilain waktu, karna hari esok masihlah tabu yang belum tuntu juga mampu kutemu. Idealisme anak baru lulus sekolah berseragam putih abu-abu. Mencari jati diri tak pedulikan realitas yang sebenarnya terjadi.

Kubiarkan berkeliaran mata ini hingga jauh ke sudut-sudut batas pandang mata melihat. Melepaskan beban usia dini yang dihadapkan dengan kerasnya perjuangan menjadi budak orang asing di neger i sendiri. Mengaburkan mimpi, mengganggu di setiap tidur malam hari. Tak ada terselip seberkas sinar yang kuharap mampu menerangi kelamnya hati. Hanya arak-arakan tebal hitam awan menjadi tabir tebal antara bumi dan langi t. Hujan renyai yang turun deras sejak pagi tadi mengubah 180ยบ hawa panas Jakarta, seakan mewakili gundah yang sedang meliputi dan mengabarkannya pada yang lain.

Ah, kau terlalu cengeng langit. Seperti anak kecil ditinggal ibunya saja, kau meraung-raung dalam tangis, menumpahkan semua air matamu. Tenanglah sebentar, ceritakanlah semua padaku, sandarkan beban ke bahuku meski bebanku sendiri belum juga ber kurang. Namun melihatmu seperti itu hatiku merasa iba dan bersedia tuk mendengarkan keluh kesahmu. Bisikkan lirih ke telingaku bila kau ragu dan tak perlu malu. Anggaplah aku ini sahabat terbaikmu.

Memang benar, dengan alasan ilmu pengetahuan tak henti-hentinya mereka perkosa dirimu, dengan tujuan kemanusiaan mereka terus kuras habis isi perutmu. Namun harus bagaimana lagi? Tuhanmu sendiri yang telah menjadikan mereka untuk memimpinmu, tak mudah tuk membuat mereka sadar. Sekedar ingat pun sukar. Layaknya pemimpin lainnya yang selalu menyalahkan bawahan, kaupun merasakan hal yang sama, selalu dicaci ketika tak mampu kau penuhi mintanya, dan tak pernah berucap terima kasih saat mereka dapatkan semuanya. Tak ada gunanya kau marah, toh mereka hanya menyesal sebentar dan sesaat pastikan mengulangi lagi.

Kalau boleh ku memberimu saran, turuti saja apa kem auan pemimpi nmu. Mereka sebenarnya sudah tahu apa konsekuensi dari yang mereka lakukan padamu. Dalam kenyataannya mereka pun mampu tuk mengatasi mu. Mereka hanyalah wakil dari Pemimpin sesungguhnya. Biarlah Sang Maha Pemimpin membuktikan kebijaksanaannya kepada wakil-wakilnya yang ditugasi tuk merawat dan memanfaatkanmu.





“Dris, turun! Bantuin nguras kontrakanku cepetan!!” tersadar pikir dari lamunan terbelalak mataku mengarah persis ke jalan depan kontrakanku. Air menggengang setinggi bahu orang dewasa, akibat dari hujan seharian ditambah kiriman ai r dar i kota sebelah yang relatif tinggi tempatnya. Hmm.. kalimat apa yang harus kuucap untuk keadaan ini, bersyukur atau mendesah? Tapi ada suatu manfaat yang mengganjal dari kondisi ini: “besok hari bisa dipastikan libur kerja hehe…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar